BAB 1
PENDAHULUAN
Bank pertama kali didirikan
dalam bentuk seperti sebuah firma pada umumnya pada tahun 1690, pada saat kerajaan
Inggris berkemauan merencanakan membangun kembali kekuatan armada lautnya untuk
bersaing dengan kekuatan armada laut Perancis akan tetapi pemerintahan
Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan kemudian berdasarkan
gagasan William Paterson yang
kemudian oleh Charles Montagu
direalisasikan dengan membentuk sebuah lembaga intermediasi keuangan yang
akhirnya dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu dua belas
hari.
Sejarah mencatat asal mula
dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman kerajaan tempo dulu
di daratan Eropa.
Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke Asia Barat
oleh para pedagang.
Perkembangan perbankan di Asia, Afrika dan Amerika dibawa oleh bangsa Eropa pada saat
melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua
Amerika. Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai dari jasa penukaran uang. Sehingga dalam
sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam
perjalanan sejarah kerajaan di masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan
yang satu dnegan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal
dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money
Changer).
Kemudian dalam perkembangan
selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat
penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya
kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang
disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada
masyarakatyang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.
Sejarah perbankan di Indonesia
tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda.
Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari
1828 kemudian menyusul
Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang
monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta
terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda.
Bank-bank yang ada itu antara lain :
- De Javasce
NV
- De Post
Poar Bank
- Hulp en
Spaar Bank
- De
Algemenevolks Crediet Bank
- Nederland
Handles Maatscappi (NHM)
- Nationale
Handles Bank (NHB)
- De Escompto
Bank NV
- Nederlansche
Indische Handelsbank
Di samping itu, terdapat pula
bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut
antara lain :
- NV.
Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
- Bank
Nasional Indonesia
- Bank Abuan
Saudagar
- NV Bank
Boemi
- The Chartered
Bank of India, Australia and China
- Hongkong
& Shanghai Banking Corporation
- The
Yokohama Species Bank
- The Matsui
Bank
- The Bank of
China
- Batavia
Bank
Di
zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi.
Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang
ada di zaman awal kemerdekaan antara lain :
- NV.
Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP),
didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung.
- Bank Negara
Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan
BNI ’46.
- Bank Rakyat
Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari
De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
- Bank
Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
- Bank
Indonesia di Palembang tahun 1946.
- Bank Dagang
Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
- Indonesian
Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
- NV Bank Sulawesi di Manado
tahun 1946.
- Bank Dagang
Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger
dengan Bank Pasifik.
- Bank Timur
NV di Semarang berganti nama menjadi Bank
Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Di Indonesia, praktek perbankan
sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan
berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syari’ah, dan
juga BPR Syari’ah (BPRS).
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia
mengenal dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda.
Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang
menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun bank swasta
nasional.
Pada 1958, pemerintah melakukan
nasionalisasi
bank milik Belanda mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada
tahun 1959
yang diubah menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya)
selanjutnya pada 1960
secara berturut-turut Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan
Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan
(BKTN) dan kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII).
Berikut ini akan dijelaskan
secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu :
- Bank
Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah
Bank
Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan
lagi dnegan UU No 23 Tahun 1999.Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche
Bank yang di nasionalkan di tahun 1951.
- Bank Rakyat
Indonesia
dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De
Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal
dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural
dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi :
1. Yang
membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
2. Yang
membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
- Bank Negara
Indonesia
(BNI ’46)
Bank ini menjalani BNI Unit III
dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia ’46.
- Bank Dagang
Negara(BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank
yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP (Peraturan
Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank
Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yangberada diluar
Bank Negara Indonesia Unit.
- Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari
Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank,
selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU
No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
- Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di
daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun 1962.
- Bank Tabungan
Negara
(BTN)
BTN berasal dari De Post Paar
Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi
Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan
UU No 20 Tahun 1968.
Bank Mandiri merupakan hasil
merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan
Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim). Hasil merger
keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.
Dari waktu ke waktu kondisi
dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Selain disebabkan
oleh perkembangan internal dunia perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan di luar dunia perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian,
politik, hukum, dan sosial. Perkembangan faktor internal dan external tersebut
menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia dapat dikelompokan dalam 4 periode.
Masing-masing periode mempunyai
ciri khusus yang tidak dapat disamakan dengan periode lainnya. Deregulasi di
sektor riil dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980-an serta terjadinya
krisis ekonomi di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an adalah dua peristiwa
utama yang telah menyebabkan munculnya empat periode kondisi perbankan di
Indonesia sampai dengan tahun 2000.
Keempat periode itu adalah :
- Kondisi
perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket – paket deregualsi di
sektor riil dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980-an.
- Kondisi
perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa
sebelum terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an.
- Kondisi
perbankan di Indoneisa pada masa krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990-an.
- Kondisi
perbankan di Indonesia pada saat sekarang ini.
BAB
2
ISI
A.
Kondisi Sebelum Deregulasi
Kondisi
sebelum deregulasi sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan
politik dari Pemerintah. Tingkat inflasi yagn tinggi serta kondisi ekonomi
makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan
yagn tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik, hal tersebut merupakan
fenomena yang terjadi pada masa sebelum deregulasi tersebut seolah – olah
menjadi suatu lingkaran yang tidak ada ujung pangkalnya serta saling
mempengaruhi.
Untuk
mengatasi situasi tersebut, ditempuh dengan cara melakukan serangkaian
kebijakan berupa dergulasi di sektor riil dan sektor moneter. Pada tahap awal
deregulasi lebih cepat dampaknya pada sektor moneter melalui perubahan di dunia
perbankan. Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan peraturan pada
bidang-bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat diartikan sebagai
perubahan-perubahan yang dimotori oleh otoritas moneter untuk meningkatkan
kinerja di dunia perbankan, dan pada akhirnya juga diharapkan akan meningkatkan
kinerja sektor riil.
Fungsi
utama perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya
deregulasi tidak banyak mengalami perubahan, yaitu :
- Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiaya kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
- Memberikan
jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar.
- Mengadministrasikan
anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah
- Menyalurkan
dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor-sektor yang
ingin dikembangkan oleh pemerintah.
Keadaan
perbankan masa belum adanya perangkat peraturan dan perundang-undangan yang
secara khusus mengatur dunia perbankan, adalah :
- Tidak
adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan
di Indonesia. Sampai akhir tahun 1960-an hanya ada UU No. 13 tahun 1968
yang isinya tidak mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia,
lebih cenderung mempertegas kuatnya campur tangan pemerintah di dunia
perbankan, yaitu tentang kedudukan bank sentral dan dewan moneter.
- Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu
KLBI diberikan bukan dalam pengertian yang baku, yaitu untuk mengatasi kesulitan likuiditas, melainkan diberikan justeru untuk tujuan ekspansif. - Bank
banyak menanggung program pemerintah bank harus menjalankan kegiatan
perbankan yang erat kaitannya dengan program atau proyek pemerintah.
- Instrumen
pasar uang yang terbatas. Instrumen yang terdapat pada pasar uang, yaitu
berupa Surat Berharga Pasar Uang(SBPU) dan belum mengenal adanya Serifikat
Bank Indonesia (SBI).
- Jumlah
bank swasta yang relatif sedikit, yaitu :
Ø
BRI (1951) semula bernama Algemene Volkcrediet Bank.
Ø
Bank Ekpor Impor (1968) sebagai nasionalisasi dari berbagai kegiatan
Nederlandshe Handel Maatschappij di bidang lalu lintas pembayaran
internasional.
Ø
Bank Bumi Daya (1968) sebagai nasionalisasi dari sebagian kegiatan Nederlandshe
Handel Maatschappij di bidang perkebunan-perkebunan besar.
Ø
Bank dagang Negara (1960) sebagai nasionalisasi dari kegiatan Escomptobank NV.
Ø
Bank Tabungan Negara (1963) sebagai nasionalisasi dari Bank Tabungan Pos pada jaman
Hindia Belanda.
Ø
BNI (1946) didirikan pada awalnya sebagai bank sentral selama masa perjuangan
melawan agresi militer Belanda tahun 1946-1949.
Ø
Bank Pembangunan Indonesia (1960) didirikan pada awalnya untuk mendorong
pembangunan industri manufaktur, pertambangan, dan perkebunan.
- Sedikit
muncul bank baru. Dominasi bank pemerintah yang sangat kuat dengan segala
fasilitas dan kemudahannya menyebabkan sulit sekali bagi bank swasta baru
untuk masuk dalam persaingan apalagi untuk berkembang menjadi bank yang
besar.
- Persaingan
antar bank yang tidak ketat adanya kebijakan bahwa tingkat bunga simpanan
dan pinjaman secara sepihak ditentukan oleh bank senral semakin
menyebabkan tidak adanya iklim persaingan.
- Posisi
tawar menawar (bergaining position) bank relatif lebih kuat daripada
nasabah
Bank (pemerintah) seolah-olah tidak merasa membutuhkan nasabah, nasabahlah yang membutuhkan bank. - Prosedur
berhubungan dengan bank yang rumit bank merasa tidak terlalu membutuhkan
nasabah, maka bank juga merasa tidak perlu memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada nasabahnya.
- Bank
bukan merupakan alternatif utama bagi amsyarakat luas untuk menyimpan dan
meminjam dana. Masyarakat kecil lebih banyak berhubungan dengan pegadaian
dan rentenir untuk memperoleh pinjaman dana.
- Mobilisasi
dana lewat perbankan yang sangat rendah hal-hal di atas menyebabkan sangat
rendahnya mobilisasi dana dari masyarakat luas yang masuk ke perbankan dan
sebaliknya arus dana dari perbankan yang disalurkan kepada masyarakat luas
juga sangat rendah.
Perekonomian
Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan
deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor
keuangan dan perekonomian. Bank Indonesia tetap berdasarkan Undang- Undang (UU)
No. 13/1968 tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No. 14/1967
tentang perbankan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi perubahan
fundamental karena segala kebijakan yang dilaksanakan Bank Indonesia (BI)
dilakukan berdasarkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan
pemerintah. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan
tangguh.
Kondisi
perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik karena
faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang dana
pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi untuk
mendorong peranan swasta agar lebih besar. Dampak dari over-regulated terhadap
perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal
tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi
perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi
pada periode tersebut.
Pada
1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit,
bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta
menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua
bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan
koperasi dan ekspor. Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim
persaingan antar bank.
Banyak
bank, terutama bank swasta, mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam
menentukan arah perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat sistem
pengawasan bank yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist
yang diberi nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela
(DOT) di bidang perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi
berkecimpung dalam dunia perbankan.
B.
Kondisi Sesudah Deregulasi
Meskipun
istilah yang digunakan “deregulasi”, namun tidak berarti bahwa perubahan yang
dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau pengaturan di dunia
perbankan. Deregulasi lebih tepat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang
dimotori oleh otoritas moneter untuk meningkatkan dunia perbankan dan pada
akhirnya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.
Kebijakan
deregulasi yang telah dilakukan :
- Paket
1 Juni 1983 yang berisi tentang :
Ø
Penghapusan pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrumen pengendali
Jumlah Uang Beredar (JUB).
Ø
Pengurangan KLBI kecuali untuk sektor-sektor tertentu.
Ø
Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman
kecuali untuk sektor-sektor tertentu.
- Bank Indonesia sejak 1984
mengeluarkan SBI.
- Bank
Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas
diskonto oleh BI.
- Paket
27 Oktober 1988 yang berisi tentang :
Ø
Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi :
§
Kemudahan pembukaan kantor bank.
§
Kejelasan aturan pendirian bank.
§
Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito dan
tanpa perlu izin.
§
Semua bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan lain.
- Paket
28 Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya menuju
penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga
dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
keuangan.
- UU No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
- Paket
29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank
meliputi :
Ø
CAR (Capital Adequacy Ratio)
Ø
Batas Maksimum Pemberian Kredit
Ø
Kredit Usaha Kecil
Ø
Pembentukan cadangan piutang
Ø
Loan to Deposit Ratio
Pada
tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi
perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto
88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan
1971–1972. Pemberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun
1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor
cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal
ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia
perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan
untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah
mencapai minimal Rp 100 juta.
Namun
demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan
kebebasan dan kemudahan oleh para 3 pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan
Pakto 88, BI secara intensif memulai pengembangan bank bank sekunder seperti
bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah
menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Tujuan
pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan
untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping
untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Dalam Pakto 1988, juga dibuka
kesempatan untuk mendirikan bank umum dan bank pembangunan baik yang berbadan
hukum perseroan terbatas maupun koperasi dengan syarat yang lebih
sederhana, suatu bank dapat didirikan dengan modal 10 milyar rupiah.
Paket
kebijaksanaan ini juga menentukan bahwa bank swasta nasional, bank perkreditan
rakyat (BPR), termasuk lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP), dapat
didirikan di luar ibukota negara, ibu kota propinsi dan ibukota Dati II,
serta dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
Kebijaksanaan
baru tersebut juga memberi keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin
meningkatkan statusnya menjadi bank devisa (melayani transaksi devisa), membuka
kemungkinan pendirian bank campuran (join kerjasama dengan bank asing) dan
memberi kesempatan bagi bank asing untuk membuka kantor cabang pembantu di
kota-kota tertentu.
Di
samping kemudahan-kemudahan tersebut, disempurnakan juga ketentuan mengenai
kewajiban bank untuk memelihara likuiditas minimum baik dalam rupiah maupun
valuta asing, yaitu dari 15 persen menjadi 2 persen yang juga berlaku
bagi LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank. Misalnya seperti perusahaan financing
yang bentuk usahanya bukan bank).
Untuk
penyempurnaan Pakto 88, dikeluarkan Paket 25 Maret 1989 yang antara lain memuat
ketentuan-ketentuan penilaian kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk
perhitungan capital adequacy lebih diperjelas, ketentuan mengenai lending limit
dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan
dana pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka
menengah dan panjang. Berbagai kemudahan tersebut berdampak cukup luas
kalau tidak mengatakan peletak landasan baru bagi industri perbankan di
Indonesia.
Kalangan
investor/swasta tertarik untuk berekspansi dalam industri perbankan. Sebagai
akibatnya perkembangan bank swasta nasional mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat dan laju pertumbuhannya telah mampu mematahkan dominasi bank pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bermunculan bank-bank baru dan
juga pembukaan kantor-kantor bank, terutama oleh bank swasta. Pada tahun
tersebut banyak kelompok-kelompok perusahaan besar mendirikan bank-bank baru.
Kelompok usaha Bakrie misalnya, mendirikan Nusa Bank, Subentra Group mendirikan
Bank Subentra, Jaya Group mendirikan Jaya Bank serta beberapa kelompok
perusahaan lainnya.
Memasuki
tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi
ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992
dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi
perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
UU
Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian
pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan
tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan
pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman
pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada
Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada
periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu
meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan
berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu
program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari
Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan
Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit
macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit
adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan.
Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka,
dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang
sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian
Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama.
Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei
1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang
sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada
upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras
ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi.
Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Tabel 1.
Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
Tahun
|
|
Kantor Bank Pemerintah
|
|
Kantor Bank Swasta
|
||||
|
|
|
|
|||||
|
Pusat
|
|
Cabang
|
|
Pusat
|
|
Cabang
|
|
|
|
|
|
|||||
1988
|
|
7
|
|
852
|
|
104
|
|
876
|
1989
|
|
7
|
|
922
|
|
141
|
|
1656
|
1990
|
|
7
|
|
1018
|
|
164
|
|
2545
|
1991
|
|
7
|
|
1044
|
|
185
|
|
3203
|
1992
|
|
7
|
|
1066
|
|
201
|
|
3341
|
1993*
|
|
7
|
|
1066
|
|
213
|
|
3382
|
Sumber
: Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan :
sampai Maret 1993 .
Dari
segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indonesia juga mengalami
pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada tahun 1989-90. Pada
tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding
tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah. Pada tahun 1990, jumlah
dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen atau
121.7 persen dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran
kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen
menjadi 63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau
meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut ternyata
menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan menimbulkan pengaruh
semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar meningkat tajam sebesar 23,4
persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990. Demikian juga tingkat inflasi
hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990 dan tetap pada tingkat yang sama
pada 1991 (Tabel 2).
Tabel 2 .
Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di
Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
Tahun
|
Deposit
|
Kredit
|
Uang Beredar
|
Inflasi (%)
|
1988
|
37.510
|
44.001
|
33.885
|
6.10
|
1989
|
54.375
|
63.606
|
41.998
|
5.97
|
1990
|
83.154
|
97.696
|
58.704
|
9.53
|
1991
|
95.118
|
113.608
|
84.630
|
9.52
|
1992
|
114.850
|
123.689
|
119.053
|
4.94
|
1993*
|
117.636
|
124.922
|
123.161
|
6.59
|
Sumber
: Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan :
sampai Maret 1993
Keadaan
ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter
pada tahun 1990. Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk
membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank
membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK). Pada
tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan
uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa
bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di
samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) untuk menarik dana dari masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut
membawa dampak peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat
Berharga Pasar Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi
peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen,
tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga
interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.
C.
Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan,
ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana
masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para
pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum
bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi
hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan
pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai
rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana
diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar
Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola
pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan
kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab
dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola
dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang
terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk
meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan
Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan
Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian
yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi
ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan
Aktiva Produktif.
Bertalian
dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa
bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya
setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu
bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili
oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam
rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu,
ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk
selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :
(i)
Bank Negara Indonesia (Persero)
(ii)
Bank Bumi Daya (Persero)
(iii)
Bank Rakyat Indonesia (Persero)
(iv) Bank
Dagang Negara (Persero)
(v)
Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
(vi)Bank
Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii)Bank
Tabungan Negara (Persero).
Dengan
telah ditempatkannya semua bank pemerintah sebagai bank umum yang kedudukannya
sama dengan bank-bank umum lainnya, serta yang berlandaskan hanya pada satu
undang-undang, kebijakan Bank Indonesia yang khusus ditujukan kepada bank
pemerintah pada masa yang lalu, sejak saat itu ditiadakan. Perlakuan Bank
Indonesia terhadap bank pemerintah baik dalam pemberlakuan ketentuan perbankan
maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bank disamakan dengan
perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait
dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada
tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut
ditegaskan bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi
hasil tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula
sebaliknya.
Kegiatan
operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan
penanaman dana maupun dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal
risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan
adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada system
bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam
syariat (hukum) Islam.
Otoritas pengawasan 1983-1990
Di
bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap
berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan.
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia
tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok
Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas dalam Undangundang
Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990. Dalam Bab I pasal 29
sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990, peran Bank Indonesia mencakup
fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan, serta penerapan sanksi
atas pelanggaran yang dilakukan bank.
Selain
dalam pasal-pasal tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam
mengatur dan mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7
tentang kegiatan dalam valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai
pendiri dan pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan
tugas Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi
pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi. Khusus
untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah pengawasannya juga
dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah go public pengawasannya
dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.
Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997
Sejak
tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup
stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar
Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami
penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan nilai kurs
rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977
gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari
jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997
melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan
pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar
upiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni
sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar.
Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara
langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan
moneter.
D.
Jalan Berliku Perbankan Indonesia di 2008-2009
Perjalanan
perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang
harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai
sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya.
Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan
akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya
Indonesia.
Meskipun
dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber
tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam
negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi
memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan,
sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi
dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis
ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di
dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime
mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor
dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara
maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis
keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata
betul saja, dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga
keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat
terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa
di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas
bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.
Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul
kabar dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor
asing guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah
terus melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya,
kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai
menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Beberapa
kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan
menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun
1998. Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih
berjalan sehat.
Tingginya
intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas
kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank.
Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi
bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga
perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut.
Banyaknya
beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya
membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah
hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah
pada awal November.
Modus
yang dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan
menyebarkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima
bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional,
Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan
alasan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan menjaga dampak sistemik
keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil alih bank Century melalui Lembaga
Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun. Kasus diambil
alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi Bank
Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam melakukan
pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI Drajat Wibowo mengatakan, kasus
Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor negatif tetapi juga tanggung
jawab BI, karena gagalnya melakukan pengawasan antar bank.
Di
tengah tingginya persaingan perbankan merebut pasar dalam negeri, ternyata
dampak krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank BUMN harus direvisi dan
bahkan lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak mau
menimbulkan kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL), sekarang
perbankan harus lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal
semacam inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif
memberikan kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya disektor perkebunan
kelapa sawit. “Kita tidak menurunkan kredit perbankan untuk sektor perkebunan,
tetapi akan lebih selektif” kata Direktur Risk Management Bank Mandiri Sentot A
Sentausa.
Menurutnya,
apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya
mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang
terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya
pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia
tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat
dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan target
penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
E.
Kondisi Terakhir Perbankan Di Indonesia
Kondisi
perbankan di Indonesia semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global
semakin terasa. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas
perbankan dan tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia
(BI) Mulyaman D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir,
keketatan likuiditas sudah berkurang.
Dalam
2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian.
Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan
Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan
total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Kredit
investasi juga mencatat pertumbuhan tahunan tertinggi 42,9 persen, kredit modal
kerja tumbuh 39 persen, kredit konsumsi tumbuh 33 persen. Adapun tingkat kredit
macet (Non Performing Loan/NPL) relatif stabil 3,9 persen. Kecukupan modal
perbankan (CAR) juga masih tinggi mencapai 16 persen. Risiko kredit dan risiko
pasar masih tergolong rendah, namun berpotensi meningkat apabila pemburukan
ekonomi global berlanjut. Lebih lanjut Mulyaman memperkirakan, jika pertumbuhan
ekonomi berada di kisaran 4,9-5 persen, pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-20
persen di tahun 2009 mendatang.
Pejabat
senior IMF Perwakilan Indonesia Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem
perbankan di Indonesia mulai kuat dan memiliki modal serta kinerja bagus yang
tercipta karena membaiknya sistem pengawasan perbankan. Zavadjil yang dikutip
dari keterangan pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia
secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro
ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan
moneter.
Pernyataan
ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh
media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam
laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang
dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Keberhasilan
menghadapi krisis keuangan 2008-2009 menjadi bukti jelas daya tahan sistem dan
membaiknya stabilitas keuangan Indonesia yang dibentuk 10 tahun terakhir ini.
Program penilaian sektor keuangan (Financial Sector Assessment Program/FSAP)
adalah analisis menyeluruh dan mendalam mengenai sektor keuangan suatu negara
yang telah dimulai sejak 1999 dan diikuti lebih dari 150 negara termasuk negara
anggota G-20.
Fokus
penilaian program ini yaitu mengukur stabilitas sektor keuangan dan potensi
kontribusinya bagi pertumbuhan dan pembangunan. Penilaian IMF, katanya termasuk
melakukan stress test kekuatan perbankan Indonesia menghadapi kondisi yang
paling ekstrim seperti penurunan pertumbuhan ekonomi.
Untuk
Indonesia hasil stress test sangat positif. Dalam tes dengan skenario bawah,
meski keuangan bank terkena dampak tetapi permodalan masih bertahan di batas
yang ditentukan. Dalam kesimpulan IMF, sektor keuangan Indonesia sudah menjadi
sistem yang kuat dan itu merupakan sinyal positif bagi investor dalam dan luar
negeri.
BAB 3
KESIMPULAN
Perekonomian Indonesia masih
mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan
perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan
tangguh. Dampak dari over regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan
dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan
deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan
masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.
Pada 1983, tahap awal deregulasi
perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku
bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit
tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor.
Pada tahun 1988, pemerintah
bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan
mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi
titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Memasuki
tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi
ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992
dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi
perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
Berdasarkan Undang-undang No. 7
Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan,
syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan
menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan
bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya.
Dengan undang-undang tersebut
juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan
usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta
sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan
perbankan.
Untuk meningkatkan praktek
kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan
tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan
Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu
pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan
mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva
Produktif.
Namun sekarang kondisi perbankan
di Indonesia semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin
terasa. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan
dan tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI)
Mulyaman D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan
likuiditas sudah berkurang.
Dalam 2 bulan terakhir
likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya
likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib
Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit
tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Pejabat senior IMF Perwakilan
Indonesia Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia
mulai kuat dan memiliki modal serta kinerja bagus yang tercipta karena
membaiknya sistem pengawasan perbankan. Zavadjil yang dikutip dari keterangan
pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia secara umum
sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro ekonomi dan
stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan moneter.
Pernyataan ini sengaja
dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di
Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai
kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan beberapa waktu
lalu.
No comments:
Post a Comment